Sunday, 5 July 2015

MAKALAH ULUMUL HADITS

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Hadits atau al-hadits, merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah Al Qur’an. Hadits sebagai penjelas daripada Al Qur’an perlu dilakukan pengkajian mengenai kualitas dan kuantitasnya. Sehingga umat islam dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hadits di kalangan umat islam disebutkan bahwa hadits itu dikatakan shahih, hasan atau pun lemah berdasarkan kualitasnya sedangkan hadits dinilai ahad dan mutawatir berdasarkan kuantitasnya. Bagaimana hadits bisa dikatakan shahih, hasan atau pun dhaif ? Oleh karena itu kami memnyusun makalah ini dalam rangka untuk lebih memahami hadits berdasarkan kuantitas dan kualitasnya.
B.   Rumusan Masalah
1.    Apakah hadits itu ?
2.    Bagaimanakah hadits berdasar kuantitasnya?
3.    Bagaimanakah hadits berdasar kualitasnya?
C.   Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui dan memahami hakikat hadits.
2.    Mengetahui hadits-hadits berdasar kuantitasnya.
3.    Mengetahui hadits-hadits berdasar kualitasnya.





BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Hadits
Hadits atau al-hadits secara  etimologi atau bahasa al-jadid yang berarti sesuatu yang baru , lawan dari kata al-qadim yang berarti lama.[1]
Hadits berdasarkan istilah, para ahli hadits mendefinisikan hadits secara berbeda-beda. Berikut definisi hadits menurut para ahli :
1.    Ahli Hadits
اَقْوَا لُ النَّبِي صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ وَاَفْعَا لُهُ وَ اَحْوَالُهُ
“segala perkataan nabi, perkataan dan hal ikhwalnya”.
Yang dimaksud “hal ikhwal” adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, yang berkaitan dengan himmah karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.
2.    Ahli Ushul
اَقْوَا لُهُ وَاَفْعَا لُهُ وَ تَقْرِ يْرِاتُهُ الَّتِي تَثْبُتُ الْاَحْكَا مُ
“segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.”
Berdasar ahli ushul ini jelas bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi SAW, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia.
           


B.   Hadits Berdasar Kuantitas
Kuantitas, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ku·an·ti·tas n banyaknya (benda dsb); jumlah (sesuatu).[2]
Hadits berdasar kuantitas berarti hadits dilihat dari jumlah atau banyaknya periwayat  yang meriwayatkan hadits tersebut.
Berdasarkan kuantitasnya hadits terbagi menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1.    Hadits mutawatir yakni hadits yang kata mutawatir menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah: “Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Syarat hadits mutawatir diantaranya :
a.    Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) panca indera.
b.    Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah  dan mustahil mereka untuk berdusta.

Hadits mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu :
a.    Hadits mutawatir lafzi
Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.


Contohnya Hadits Mutawatir Lafzi :
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.

Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut:
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.

b.    Hadits mutawatir maknawi, yaitu :
a.  Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.
b.  Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh:  :
Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih- putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)


    
Hadits yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.

2.    Hadits ahad
Para ulama mendeifinisikan hadits ahad secara singkat yakni hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Abdul Wahab Khalaf, mendefinisikan bahwa hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir.[3]
Pembagian hadits ahad, terbagi menjadi:
1.    Hadits masyhur, yakni hadits yang telah tersebar luas dan populer di kalangan masyarakat.
Contoh :
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ (رواه البخا ري ومسلم)
“orang islam (yang sempurna) itu adalah : orang –orang islam yang selamat dari lidah dan tangannya. (HR.Bukhari-Muslim)
2.    Hadits ghair masyhur, yakni hadits yang belum begitu dikenal oleh masyarakat luas. Hadits ghair masyhur terbagi menjadi dua, yakni :

a.    Hadits ‘aziz
Secara bahasa berasal dari kata ‘Azza – ya’izzu yang berarti la yakudu yujadu atau qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya) dan bisa berasal dari azza ya’azzu berarti qawiya (kuat).
Sedangkan menurut istilah ‘Aziz  berarti hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqad sanad.
Al hafid Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits aziz  adalah “hadits yang tiada diriwayatkan oleh kurang dari dua orang dari dua orang”.[4] 
Contohnya :
لاَ ىُؤْ مِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالَدِهِ والنَّاسِ أَجْمَعِىْنَ (رواه البخا رى و مسلم)[5]
“tidaklah beriman seseorang diantaraa kamu hingga aku lebih dicintai daripada dirinya, orang tuanya,anaknya, dan semua manusia”.(HR.Bukhari-Muslim)
b.    Hadits gharib
Menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-baid an aqarihibi (jauh dari kerabatnya).
Ulama hadits mendefinisikan hadits gharib, yakni “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya atau selainnya”.
Imam yang dimaksud di sini adalah perawi hadits yang menyendiri dalam meriwayatkan.

Hadits gharib terbagi menjadi dua, yakni hadits gharib mutlak dan gharib nisbi.
a.    Gharib mutlak : penyendirian perawi mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqat.
b.    Gharib nisbi : penyendirian berkaitan dengan sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi, seperti ke-dhabit-an dan keadilan serta tempat tinggal.

C.   Hadits Berdasar Kualitas
Kuantitas, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ku·a·li·tas n 1 tingkat baik buruknya sesuatu; kadar:
Hadits berdasar kuantitasnya berarti hadits berdasarkan penilaian tingkatan hadits tersebut baik atau buruknya hadits.
Menurut para ahli hadits, hadits ditinjau dari kualitasnya terbagi menjadi dua yakni hadits maqbul dan hadits mardud.

1.  Hadits Maqbul
         Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau yang diterima).
         Sedangkan menurut istilah hadits maqbul adalah,
مَا تَوَا فَرِتْ فِيْهِ جَمِىْعُ شُرُوْ طِ الْبُوْلِ
“hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan”.
Jadi hadits maqbul adalah hadits yang dapat diterima sebagai hujjah, karena hadits itu telah sempurna syarat-syarat penerimaannya.

         Syarat-syarat hadits maqbul :
1.  Sanadnya bersambung. Dalam hal ini terapat dua pendapat dalam menentukan hadits itu bersambung atau tidak. Pendapat Imam Bukhari, sanad hadits dikatakan bersambung bila antara perawi yang terdekat itu pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Sedangkan menurut Imam Muslim hadits dikatakan bersambung bila antara perawii yang terdekat hidup sezaman.
2.  Diriwayatkan oleh rowi yang adil dan dhabit.
3.  Matannya tidak syadz (janggal) dan tidak ber’illat (cacat).

         Hadits-hadits yang termasuk hadits maqbul, yakni diantaranya :
1.  Hadits Mutawatir
2.  Hadits ahad dan marfu’ lagi musnad dan shahih
         Secara bahasa hadits shahih merupakan lawan dari Saqim, (sakit). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sahih diartikan, sa·hih a sah; benar; sempurna; tiada cela (dusta, palsu); sesuai dng hukum (peraturan).
Menurut Al-Suyuthi, hadits sahih yaitu :
مَااِتَّصًلَ سَنَدَ هُ باِلْعدُوْلِ الضَّا بِطىن من غير شذوذ ولاعلة
“hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat.”
Menurut Ajjaj Al-Hatib, hadits sahih yakni :

ما تصل سنده بر و اية الثقة عن الثقة من او له الي منتها ه
“Hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayat yang dapat dipercaya dari awal sanad hingga akhir sanad dengan tanpa cela dan cacatnya”.


Kriteria hadits sahih :
a.    Rangkaian perawinya dalam sanad itu harus bersambung dari perawi pertama sampai perawi terakhir.
b.    Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal yang dikenal tsiqat dalam artian ‘adil dan dhabit.
c.    Hadits terhindar dari ‘illat dan syadz.
d.    Para perawi yang teredekat dalam sanad harus sezaman.
e.    Menurut Imam Bukhori terjadinya periwayatan harus dengan Al Sama’ yakni mendengarkan sendiri dari gurunya baik dengan cara didektekan atau tidak, baik dari lafal atau tulisannya.

Hadits sahih dikategorikan menjadi dua, yakni :
a.    Sahih lidzhatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna.
b.    Sahih lighairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul. Hal ini dapat terjadi bila, perawinya sudah diketahui adil tetapi ke-dhabit-annya dinilai kurang. Hadits ini menjadi shahih karena ada yang meriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat lebih sahih.
Contoh hadits sahih lighairihi :
لَوْ لاَ اَنْ اَ شُقَّ عَلَى النَّاس لَاَ مَرْ تُهُمْ بِا لسَّوَاكِ مَعَ كُلَّ صَلاَ ةِ
“andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat”.(HR.Bukhari).

3.  Hadits ahad yang marfu’ musnad hasan
Hasan secara bahasa berarti
مَاتَشْتَهِىْهِ النَّسُ وَ تَمِيْلُ اِلَىْهِ  (sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu).
Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama mendefinisikan bahwa hadits hasan  adalah hadits yang menduduki diantara hadits shahi dan dha’if, yang dapat dijadikan hujjah
Syarat-syarat Hadits hasan :
a.    Sanadnya bersambung.
b.    Perawinya ‘adil.
c.    Perawinya dhabit, kualitas ke-dhabit-annya dibawah perawi hadits shahih
d.    Tidak terdapat ‘illat dan syadz.
Macam-macam hadits hasan:
a.  Hasan lidzhatihi, yakni hadits yang sanadnya bersambung,  periwayatnya adil, dhabit meskipun tidak sempurna dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada syadz dan ‘illat.
b.  Hasan lighoirihi, yakni hadits yang terjadi dari hadits dha’if  jika banyak periwayatnya, sementara para perawinya tidak diketahui keakhliannya dalam meriwayatkan hadits.

2.  Hadits Mardud
         Mardud secara bahasa berarti “yang ditolak” .  Sedangkan secara istilah adalah “hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian hadits maqbul”.
Hadits mardud ialah hadits ahad yang bukan marfu’,  musnad, sahih dan bukan marfu’, musnad hasan. Yakni hadits dhaif yang banyak macamnya dan banyak pula namanya. [6]
Para ulama mengelompokkan hadits menjadi dua, yakni hadits dhaif dan hadits maudhu’.

a.    Hadits Dha’if
               Menurut bahasa kata dha’if  berarti lemah, sebagai lawan dari kuat. Maka secara bahasa hadits dha’if  berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
               Menurut para ulama pengertian hadits dhaif :
1)    Al Nawawi mendefinisikan dengan  : “ hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.
2)    Nuruddin TTR memberikan syarat bahwa Hadits yang kehilangan salah satu saratnya sebagai hadits maqbul (diterima), maka itu disebut sebagai hadits dhaif. [7]

   Sebab-sebab Hadits Dha’if tertolak, dapat dilihat dari dua jurusan yakni :
a.    Sanad hadits, meliputi kecacatan perawi baik keadilan maupaun ke-dhabit-an. Sanadnya tidak bersambung.
b.    Matan Hadits, hadits mauquf dan hadits maqthu’.

   Beberapa istilah hadits dha’if[8] :
a.    Munqathi’  karena tidak bersambung sanadnya.
b.    Mu’allaq :  hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih awal.
c.    Murshal : hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in.
d.    Mu’dhal : hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.
e.    Mudallas :  hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tidak bernoda
f.     Mu’allal : hadits yang mengandung cacat yang menodai keshahihannya.
g.    Mudhltharab : hadits yang banyak meriayatkan, tetapi terdapat perbedaan pada ingatan dan hafalan mereka.
h.    Maqlub : hadits yang terbalik lafadznya pada matan, nama seseorang atau nasabnya dalam sanad.
i.      Syadz : hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang terpercaya, tetapi berlawanan dengan riwayat orang-orang terpercaya yang lain.
j.      Munkar : hadits yang diriwayatkan oleh oleh perawi dha’if yang berlawanan dengan riwayat perawi tsiqah.
k.    Matruk : hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tertuuh dusta dalam hadits atau menampakkan kefasikan dengan perbuatan dan perkataan, atau banyak lupa, atau banyak mengkhayal.


b.    Hadits Maudhu’
               Secara istilah berarti “hadits yang disandarkan kepada Rasululah SAW, secara dibuat-buat dan dusta padahal beliau tidak menagatakan, berbuat atau mengatakannya.

               Menurut para ahli :
Contohnya :
Hadits palsu dari kaum Syiah :

 يَا عَلِيُّ اِنَّ اللهَ غَفَرَ لَكَ وَلِذُ رِ ىَّتِكَ وَ لِوَا لِدَ يْكَ و لآَ هلِكَ وَ لِشِيْعَتِكَ وَ لِمُحِبِّيْ  شِيْعَتِكَ                                                                         

“Wahai Ali, sesungguhnya Allah SWT telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang tuamu, keluargamu,(golongan) Syi’ahmu dan orang yang mencintai (golongan ) Syi’ahmu”














BAB III
PENUTUP


A.   Kesimpulan
1.    Hadits adalah segala perkatan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi SAW sebagai sumber hukum islam.
2.    Hadits dapat ditinjau dari segi kuantitas yakni berdasarkan jumlah perawi yang meriwayatkan, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad sedangkan berdasar kualitasnya hadits terbagi menjadi hadits sahih, hasan dan dhaif.
3.    Hadits berdasarkan diterima dan dan ditolaknya terbagi menjadi hadits maqbul, yang termasuk hadits maqbul adalah hadits sahih dan hasan seangkan yang termasuk hadits mardud adalah hadits dhaif dan maudhu’.
B.   Saran
1.    Dari segi kuantitas  dan kualitas, hadits masih perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam, Karena sebagai sumber hukum islam yang kedua, hadits harus benar-benar dapat dipercaya dari sumber aslinya yaitu Nabi SAW. 
2.    Perlu dilakukan penelitian agar hadits yang shahih dapat benar-benar terlepas dari hadits yang dhaif dan hadits palsu.



DAFTARA PUSTAKA


As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Firdaus.2000
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : PT Pustaka Rizki Putra.2009
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadits.Jakarta : PT Bumi Aksara.2007
Kamus Besar Bahasa Indonesia Digital Offline 1.3
Khallaf, Abd. Al.Wahab.‘Ilmu Ushul Al- Fiqih. Indonesia: Majjlis Al-A’la Al-Da’wah Al-Islmiyah, 1392M/1972M
Saefullah, Yusuf . Pengantar Ilmu Hadits. Bandung:Pustaka Bani Quraisy.2004
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Cet 3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.2002



[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadits. Cet 3,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2002)hal.1
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia Digital Offline 1.3
[3] Abd. Al.Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Al- Fiqih, (Indonesia: Majjlis Al-A’la Al-Da’wah Al-Islmiyah, 1392M/1972M),hal.42
[4] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits,(Jakarta : PT Bumi Aksara, 2007)hal.27

5 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra,2009)hal.166
6Yusuf Saefullah,Pengantar Ilmu Hadits,(Bandung:Pustaka Bani Quraisy,2004)hal.78
7 Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Firdaus,2000)hal.149

No comments:

Post a Comment