BERTEPUK SEBELAH TANGAN DAN SAKITNYA TUH DI SINI



            Baru ku sadari cintaku bertepuk sebelah tangan.
            Kau buat aku remuk sluruh hatiku
            Semoga aku akan memahami sisi hatimu yang beku
Semoga akan datang keajaiban hingga kaupun mau
Aku mencintaimu lebih dari yang kau tau
Meski kau takkan pernah tau
            Senja di hari minggu, suara rintik hujan turun berpadu dengan suara merdu Once yang masih berdendang di telingaku. Sedangkan aku masih sibuk memainkan jari-jariku di atas Si Lepo, leptop mungilku. Tugas-tugas kuliah yang menumpuk membuatku harus kerja ekstra untuk segera menyelesaikannya. Hujan yang turun tiada henti di musim penghujan pun menambah syahdunya jiwaku menghayati setiap keadaaan. Ya tentu saja, mengejar cita, cinta dan harapan.
            “Cinta ? Ah aku tetap masih menyanksikannya. Adakah di sana lelaki yang tulus itu. Mencinta tanpa mendusta, mengasihi tanpa mengingkari, memuja tanpa mendua. Mungkin hanyalah dongeng semata, cinta sempurna itu.” Gumamku sambil menghayati lagunya Dewa.
            Tanpa terasa 15 halaman sudah aku mengetik makalah untuk tugas hari esok. Tiba-tiba dari arah pintu kamar kosku ada suara orang mengetok pintu.
            “Randa ! Randa ! Kamu di dalam ga ?” Kata sesorang di seberang pintu. Aku pun segera bergegas menuju muka pintu kamar kosku.
            “Hai  Mos. Yuk masuk aja.”Kataku pada Mosi sahabatku sejak SMA selama berada di kota ini.
            “Ge ngapain kamu Nda, sendirian aja di kamar, di hari Minggu pula. Galau lu?” Kata Mosi sambil meletakan barang bawaannya. Mosi belanja buah-buahan, nampaknya dari supermarket seberang jalan.
            “Gila lu Ndro !” Kataku sambil menirukan logatnya Kasino Warkop.
“Aku galau?  Mana mungkin seorang Randa bisa galau? Kamu ada-ada aja Mos, yang ada juga elu yang galau terus ngadu ke aku. Hahaha.” Aku kembali ke meja belajarku mantengin si Lepo yang setia.
“Nah itu, lagunya aja lagu galau. Kata orang, kita bisa mendeteksi isi hati sesorang dengan mendengarkan lagu apa yang didengerin orang tersebut.”Kata Mosi sok yakin, padahal nggak.
Pada kenyataannya lagu emang mungkin bisa menggambarkan isi hati orang. Hingga hatiku terpaut kembali mengingat memori cinta itu 3 tahun yang lalu.
***
“Please Ga,maafin aku. Ini ga seperti yang kamu lihat. Aku tidak pernah menulis surat  ini untuk kamu.”  Aku mengiba pada Rega yang marah-marah karena suratku.
“Ga usah berdalih Nda, jika bukan kamu siapa di sekolah ini yang kurang kerjaan nulis surat norak kaya gitu! Dengar ya Randa tersayang, kita itu cuma sahabat dan sampai kapan pun kita tetap sahabat, ga lebih.” Kata Rega dengan kasar dan meninggalkan aku di koridor sekolah.
Aku terduduk lesu. Air mataku menetes tiada henti. Ternyata Rega benar-benar tidak mempercayaiku. Aku mencintainya diam-diam, tanpa ingin dia mengetahuinya. Tapi kini dia sudah tahu dan itu pun bukan atas kehendakku. Siapa yang tega menuliskan surat itu mengatasnamakan aku ? Hingga aku mengerti orang yang menulisnya. Aku berlari menuju kantin sekolah.
***
“Puas kamu Vik, udah buat aku berantem sama Rega. Tega banget kamu sama aku, ga nyangka kamu sejahat itu.” Kataku marah-marah di depan Vika.
“Nyatanya loe suka kan sama Rega? Gue cuma nolongin loe buat nyatain isi hati loe aja kok. Daripada kependem terus mending diungkapinkan? Gue salah yaa?” Vika menyindirku tanpa dosa seolah urusanku urusan dia juga.
“Cukup Vik, jika kamu berbuat jahat sama aku hanya karena kalah dariku menjadi ketua OSIS silakan ambil posisiku. Mulai besuk aku akan pindah dari sekolah ini.” Aku pergi meninggalkan Vika dengan terus meneteskan air mataku. Aku harus pergi dari sekolah ini.
***
            “Dear diary,
            Terima kasih pangeran, hari ini aku sudah tahu isi hatimu padaku.
            Aku tak kan menyimpan asa untuk memilikimu.
            Seperti katamu tadi siang kamu dan aku, kita adalah sahabat.
            Hanya sebatas sahabat.
            Aku segera menutup buku diaryku. Aku berharap Rega sudah memaafkan aku setelah aku pergi dari sekolah. Biarlah Papa menguruskan kepindahan sekolahku di kota Nenek. Hingga aku bisa melupakan sosok sahabat terbaikku, Rega.
            Sepuluh tahun berlalu begitu cepat hingga persahabatan kita harus berakhir seperti ini. Aku dan sekuat hatiku, telah berusaha menyimpan perasaan ini, tapi pada kenyataannya kamu tahu juga dan tak berikan sedikit maaf pun padaku. Dan pada akhirnya aku pun tahu rasaku tak bersambut, kita memang benar-benar harus bersahabat saja.
***
            “Woy Nda, ngelamun lu? Aku tinggal ke kamar mandi aja pikiranmu sampai di negeri awan. Kesambet tahu rasa lu. Hahaha... Buat rujak yuk, seger siang-siang gini.”Kata Mosi sembari membuka buah-buahan yang dia beli.
            “Yeee, kesambet Nenek Lampir sekalian. Haha.. Yuk, aku yang buat sambelnya.” Kataku sembari mengembalikan ingatan masa laluku ke tong sampah yang tak perlu diingat lagi.
            “Ok friend. Eits tapi tunggu dulu. Biar ga galau, lagunya diganti lagu baru ini aja.” Mosi mengeluarkan handphone  warna pinknya, dan memutarkan lagu dangdut.
            Sakitnya tuh di sini
            Di dalam hatiku
            Sakitnya tuh di sini
            Kau menduakan aku
            Sakit.....
            Sakit.....
            Sakitnya tuh di sini.
            “Beneran sakit ini anak, matiin ga itu lagu !” Aku mengejar-ngejar Mosi yang sedang ngupas buah sambil dangdutan plus goyang itik.
***
            Pagi menjelang, saat sang fajar masih berselimut di hangatnya awan. Aku menuruni tangga rumah kosku, berharap udara pagi dapat menyegarkan hati dan pikiranku. Aku berjalan menuju taman. Embun masih membasahi dedaunan, dan bunga-bunga mulai bermekaran. Sungguh indah ciptaan Tuhan, Alhamdulillah.
            Aku pun sampai di kursi yang berada di antara dua pohon. Kursi yang sangat panjang, untuk beristirahat sambil memandang indahnya taman kota ini. Hujan semalam masih menyisakan tetesan air hingga aku mengusapnya dengan kain yang ku bawa di dalam tas. Aku duduk termenung melihat pemandangan sekitar.
            “Randa !” Panggil seseorang dari arah belakang tempat dudukku. Aku pun sontak menoleh pada sosok itu. Lelaki berperawakan tinggi, putih dan berhidung mancung. Sosok yang sepertinya tak asing di hidupku. Sosok itu semakin mendekatiku sambil berlari-lari kecil.
            “Kamu Randa kan?” Tanya lelaki itu padaku yang masih terduduk.
            “Iya, anda siapa?” Tanyaku tanpa bisa mengingat lagi sosok itu. Sosok yang tak asing meski aku gagal untuk mengingatnya lagi.
            “Aku Rega, Nda sahabatmu. Kamu melupakan aku. Kamu pergi ke kota ini tak pernah pamit padaku Nda. Sejak kejadian itu, aku merasa bersalah padamu hingga kamu harus pindah sekolah gara-gara aku. Maafkan aku Nda.” Rega terduduk di depanku mengiba maaf.
            “Ga papa kok Ga, aku udah maafin kamu sejak kejadian itu. Kamu ga salah Ga, tapi kamu tetap percaya aku kan? Aku tak pernah sekalipun menulis surat itu untuk kamu?” Aku mulai berkaca-kaca tak percaya dengan semua ini. Kenapa hari ini aku harus menemuinya lagi.
            “Aku percaya  kamu Nda, waktu itu aku emosi. Aku sedang ada masalah. Kita tetap sahabatkan Nda?  Jangan pernah lupain sahabatmu Nda, kita selalu bermain bersama sejak kecil, kini kita udah dewasa. Aku menyesal dengan kejadian waktu itu.” Kata Rega menyesali kesalahannya.
            “Iya Ga, seperti katamu dulu. Kita cuma sahabat dan akan tetap sahabat Ga.” Aku pun mengerti, ternyata dia merasa bersalah dan kehilanganku beberapa tahun terakhir setelah kepindahanku di kota Nenek meskipun aku hidup di kos supaya lebih dekat dengan kampus.
            Pagi ini aku mengerti, persahabatan tidak akan tergantikan oleh rasa cinta untuk memiliki. Sahabat adalah sahabat yang selalu merindukan kita saat suka maupun duka. Persahabatan yang terjalin begitu lama, hingga benih-benih rasa cinta itu muncul, cinta yang tak terejawantahkan dalam kata-kata dan tak tercapai seperti sedianya.

            Dan kini, biarlah waktu yang membawa luka, membasuhnya dengan embun kedamaian jiwa. Hingga rasa sakit yang pernah ada tersucikan dengan senyum ceria menyambut cita-cita, cinta, asa dan bahagia.  

Comments