Dinginnya
udara karena hujan di pagi hari membuat semua orang enggan untuk melangkahkan
kaki dari rumah masing-masing. Maklum, musim penghujan telah tiba. Semua serba
basah-basahan, mulai dari basah air sampai basah kuyub.
Rintik
hujan pun semakin deras, tetapi masih ada saja orang yang tidak takut basah
kehujanan. Di tengah sawahnya, Pak dhe Harjo bersama istri sedang bercocok
tanam di sawah mereka, maklum agenda petani di musim penghujan. Agenda mereka
adalah di sawah dan di sawah, setiap hari.
Di tengah rerintik hujan yang
mengguyur bumi Kulwaru, Bu dhe Harjo masih tandur (ditata mundur) bibit-bibit
padi yang siap tanam. Tanpa menghiraukan rintik hujan yang semakin deras, Pak
dhe dan Bu dhe sibuk bercocok tanam.
Hingga datanglah Pak lik Bejo dengan
menenteng cangkul di pundaknya dan bekal di tangan kanannya. Pak lik Bejo
adalah buruh tani yang belum lama tinggal di Bumi Kulwaru. Sejak transmigrasi
dari pulau Jambi selama satu tahun, dia memutuskan untuk pulang kembali ke
pulau Jawa. Katanya, dia tidak suka hidup di Jambi, jauh dari saudara, mencari
makan di sana sama susahnya dengan di Jawa. Tapi dia memutuskan untuk tinggal
di tanah kelahirannya saja, mangan ora mangan sing penting kumpul, dia
bersemangat ketika menceritakan kepulangannya itu dengan berdalih makan tidak
makan yang penting berkumpul dengan saudara-saudaranya.
“Istirahat Pak dhe.” Kata Pak lik
Bejo pada Pak dhe Harjo yang masih sibuk tandur.
Pak dhe Harjo bangkit dari tempatnya
menanam padi, dan melihat pada Pak lik Bejo yang datang-datang langsung duduk
di gubuk pinggir sawah.
“Ah,
kamu itu Jo-Jo. Baru saja datang kok nyuruh istirahat. Tahu tidak kamu
itu? Beras itu mahal !” Kata Pak dhe
Harjo sambil memperbaiki caping gunungnya.
“Yang naik itu kan bensin alias BBM
Pak dhe, bukan beras. Pak dhe ki pie tha?” Bejo terkekeh
menanggapi perkataan Pak dhe Harjo.
“Lha iya, Jo. Ingat kata Pak
Presiden Soeharto Jo. Penak jamanku tha ?” Kata Bu dhe Harjo menimpali percakapan Pak dhe
Harjo dan Pak lik Bejo.
“Ini loh Bu dhe, tak bawakan teh
anget sama kue sumbu buatan simbokku. Istirahat dululah, sambil nggosip dulu.
Lha benar enak zaman e Pak Harto, para petani diperhatikan kesejahteraannya ya
Bu dhe?” Kata Bejo sambil menunjukan ketela rebus alias kue sumbu.
Pak dhe dan Bu dhe Harjo pun
menghentikan aktivitasnya terlebih dahulu. Sembari mengistirahatkan pinggangnya
yang dari pagi sudah membungkuk tekun di sawahnya tercinta, Pak dhe dan Bu dhe
menuju gubuk tempat Pak lik Bejo duduk.
“Lah, kamu ini Jo. BBM itu kan
singkatan dari Beras lan Bumbu Mahal ta Jo? Bagiku bensin mahal beras
pun begitu pula. Sami mawon.” Pak dhe manggut-manggut meyakinkan
argumennya.
Mungkin
ada rasa kecewa di lubuk hati Pak dhe Harjo yang paling dalam atas keputuasn
Presiden menaikan harga BBM tadi malam. Pak dhe memikirkan anak lelakinya yang
baru saja masuk SMA. Sementara BBM naik, ada anaknya yang harus sekolah dengan
jarak 15 km dari rumah. Dan mengharuskan anaknya mengendarai motor, itu pun
jika ada uang untuk membeli bensin. Jika tidak anaknya harus nebeng adik iparnya
yang akan kulakan di Pasar Bendungan.
“Aku
juga tak habis pikir Pak dhe, efeknya ke kita sebagai rakyat kecil kok bagai
diinjak gajah bengkak begini. Pemerintah berdalih keuangan negara semakin membengkak
karena uang negara terpotong terus menerus untuk subsidi BBM, tapi di sisi lain
kita juga turut tercekik harga barang-barang kebutuhan sehari-hari yang naik
karena biaya angkut mahal. Apa maunya, orang yang berada di atas sana?” Pak lik
Bejo mengepalkan kedua tangannya seolah ingin menghajar sosok di balik
mencekiknya harga-harga di musim hujan ini. Untungnya musim hujan, jika musim
paceklik bisa apa para petani di desa ini tanpa mengandalkan lahan sawah mereka
untuk bercocok tanam.
Biaya
bercocok tanam di Bumi Kulwaru mungkin akan sangat mahal bila musim kemarau
tiba. Bisa dibayangkan berapa lembaran uang yang harus dikeluarkan para petani
untuk membeli solar untuk mengairi sawah dengan disel setiap dua hari sekali.
Tanah dan tanaman mulai mengering karena panasnya cuaca, hingga membutuhkan
banyak air.
Mayoritas
penduduk Bumi Kulwaru adalah petani. Petani padi bila musim penghujan tiba, dan
petani cabe, melon, dan tanaman palawija yang lain bila musim kemarau. Sawah-sawah penduduk merupakan sawah tadah
hujan. Hanya bisa bertanam beras dengan lapang bila musim hujan telah tiba.
Selebihnya para penduduk mengandalkan aliran sungai Serangrejo untuk mengairi
sawah mereka, itu pun dengan sistem irigasi yang sangat sederhana tapi full
biaya.
“Pakne
- pakne ! Kita itu sebagai rakyat kecil ya bisanya cuma nurut sama pemerintah.
Seberapa pun bijaknya pemimpin, pasti juga akan mengambil tindakan yang benar
baginya tapi salah bagi kita. Kita ambil hikmahnya saja, besuk langkah-langkah
apa yang bisa pemerintah lakukan dengan dicabutnya subsidi BBM itu, semoga
benar-benar dialihkan untuk kesehatan dan pendidikan. Siapa tahu, Azam bisa
kuliah gratis kan Pak besuk.” Kata Bu dhe sembari menyeruput pahitnya teh
kepala jenggot yang dibawa, Bejo.
“Iya,
Bune. Kita bisanya cuma husnudzon bin berpikir positif seperti kata Pak
ustadz kemarin sore itu. Kerja dan kerja, seperti kabinet pemerintah saat ini
Bune. Yang penting anak kita bisa berpendidikan tinggi, siapa tahu besuk bisa
jadi menteri, ya ta Bune?” Pak dhe tersenyum-senyum memandang istri yang
dinikahinya 17 tahun yang lalu itu. Sobiroh, nama Bu dhe Harjo, wanita asli
Bumi Kulwaru ini telah menarik hatinya berkat pertemuan pertamanya di rumah
Mbah Diman, kakeknya Bu dhe Harjo ketika Pak dhe mengantarkan pesanan kelapa
dari desa Depok. Hingga pertemuan itu berlanjut, sampai meja Kantor Urusan
Agama. Iya tentu saja, KUA, kau, aku dan KUA, hingga Pak dhe dan Bu dhe
menikah.
“Bu
dhe dan Pak dhe ini, tetap saja kompak. BBM naik ya tetep adem ayem, kerja dan
kerja di sawah. Pemerintah itu bila mengambil keputusan apa ya tidak blusukan
dulu ta ya Pak dhe ? Kalau blusukan pas kita sedang tea break gini kan
bisa dialog interaktif, hati ke hati kaya Mama Dedeh itu di tipi. Pastinya
keputusan apa pun akan memperhatikan keluhan rakyatnya yang tak berubah-berubah
ini nasibnya. Kapan kesejahteraan petani ini diangkat ya Pak dhe?” Pak lik Bejo
geleng-geleng kepala, mungkin talk show sekelas Kick Andy pun perlu dia
datangi untuk meluapkan uneg-uneg galaunya itu.
“Uis-uis
Jo, kita buktikan saja bahwa kita bisa legawa menerima kebijakan pemerintah
yang karut-marut ini. Mari kembali singsingkan lengan baju dan terjun ke sawah
kita masing-masing. Ayo Bune ! Kembali tandur.” Pak Dhe Harjo kembali
mengenakan caping gunungnya di kepala.
Rintik-rintik
hujan tak menghentikan para petani Bumi Kulwaru untuk beraktivitas di sawah
mereka. Dengan semangat bekerja, mereka tetap tekun menggarap sawah dan menanam
padi di sawah masing-masing.
***
“Azam,
kamu sudah pulang nak?” Tanya Bu dhe Harjo yang baru saja datang dari sawahnya.
“Sudah
Bu, Azam capek. Tadi Azam jalan kaki dari rumah Pak Andi. Mobil pick up Pak
lik Joko mogok tepat di dekat rumah Pak Andi. Azam disuruh pulang duluan sama
Pak lik Joko. Berhubung tidak ada yang bisa ditebengi, Azam jalan kaki.” Azam
mengipas-ngipasi badannya yang berkeringat.
“Kenapa
mobilnya Pak likmu itu mogok? Kehabisan bensin ? Ada-ada saja, sudah biaya
bensin mahal kok mobil ikutan mogok, menambah biaya saja. Ibu jadi ga enak hati
sama Pak likmu Zam, tiap kita ga mampu beli bensin kamu harus nebeng dia.” Bu
dhe Harjo duduk di dekat anaknya.
“Tidak
bu, bukan bensin. Mungkin mobilnya Pak lik Joko minta diservis. Bensin memang
jadi keluhan teman-teman sekolah Azam juga bu. Kasihan si Jono, dia harus naik
sepeda sejauh 10 km dari rumahnya ke sekolah, katanya orang tuanya tidak mau
beli bensin lagi karena biaya makan pasti juga mahal karena efek kenaikan harga
BBM.” Kata Azam menceritakan suasana hatinya dan teman-temannya karena kenaikan
harga BBM semalam.
“Yang
penting, kita tetap bersabar saja Zam. Semoga Allah memudahkan jalan rizqi bagi
hamba-Nya yang bertakwa kepada-Nya dari arah yang tak diduga-duga.” Bu dhe
Harjo tetap percaya pada janji-Nya melalui firman-firman-Nya. Sebagai penggemar
Mama Dedeh, Bu dhe senantiasa menularkan ilmu yang dia dapatkan dari siaran
televisi setiap pagi itu kepada anak semata wayangnya, Azam.
***
Hari
ini Balai Desa Bumi Kulwaru ramai dengan penduduk yang hendak mengambil BLT (bantuan langsung tunai). Bapak
dan ibu yang biasa sibuk dengan sawah mereka semenjak pagi hingga petang hari,
khusus hari ini berlibur. Antrian mulai padat merayap, bantuan yang diberikan
pemerintah karena kenaikan harga BBM disambut dengan suka cita oleh beberapa
penduduk desa.
Mbah
Timbul yang sehari-hari menggembala kambing dan hidup bersama anaknya, juga
mendapatkan uang BLT. Lelaki yang sudah berkepala enam ini, mengenakan peci
hitam dipadu dengan kemeja batik dan celana panjang hitam nampak sedang duduk
antri bersama penduduk desa yang lain.
Pak
dhe Harjo pun tak kalah necisnya, di hari yang khusus ini Pak dhe Harjo
menggenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans keluaran tahun 90’an. Pak dhe
Harjo nampak sumringah, sesekali kumisnya yang tebal itu tampak tersungging
diselingi gelak tawa berjumpa dengan penduduk desa.
“Apa
kabar Mbah Timbul? Sudah tua tapi semangatnya itu loh, kok ya masih trengginas
saja simbah itu.” Kata Pak dhe Harjo sambil menyalami mbah Timbul yang
sumringah seperti penduduk yang lain.
“Ya,
alhamdulillah gusti Allah masih memberi sehat dan kuat Har, gimana kabar
anakmu si Azam? Sudah kelas berapa sekarang?” Kata Mbah Timbul sambil memeriksa
kartu SAKTI-nya yang bisa menjadi uang sebentar lagi.
“Alhamdulillah,
kelas satu SMA mbah. Sudah tak suruh naik mobil pick up-nya Joko kalau
berangkat sekolah, bareng mobil kulakan barang dagangannya Joko.” Timpal Pak
dhe Harjo meyakinkan mbah Timbul.
“Lha
motormu dimana? Kenapa tidak naik motor sendiri saja? Kasihan pulangnya harus
menunggu mobilnya Joko.” Kata mbah Timbul prihatin mendengar Azam harus
nebeng-nebeng orang lain, ya meskipun Joko adik iparnya Pak dhe Harjo.
“Bensin
sudah naik mbah, kemarin malam. Uang simpananku sudah habis tak belikan pupuk
untuk persiapan memupuk padi musim ini.” Kata Pak dhe Harjo kalem.
“Ya
sudah, ga papa Har. Prihatin dulu ya, perih-perih dibatin wae yo le. Sekarang
kita ambil saja dulu uang dari pemerintah, lumayan nanti aku bisa mampir pasar
Bendungan makan lotek Yu Marni, uenak tenan loh, hanya setahun sekali
aku bisa ke sana Har. Ayo nanti makan bersama di sana.” Mbah Timbul sudah
membayangkan betapa enaknya lotek Yu Marni, mbah Timbul menelan ludah.
“Bapak
Timbul Dikromo !” Panggil petugas balai desa dari pengeras suara.
“Aku
duluan ya Har, BLT (bantuan langsung tetuku) sudah menungguku.” Mbah Timbul segera menuju
loket pengambilan uang dengan semangat bin sumringah membayangkan lotek
Yu Marni.
Tinggallah
Pak dhe Harjo yang menunggu antrian BLT bersama warga yang lain. Semua warga
nampak gembira, tapi ada juga yang semrawut. Semrawut ingat utang yang belum
dibayar di warung sebelah, hingga BLT jadilah bantuan langsung telas alias
bantuan langsung habis.
***
Hujan
deras mulai mengguyur Bumi Kulwaru kala senja mulai datang. Mentari pun enggan
untuk menampakan cahayanya di balik selimut tebal awan mendung. Suasana
rumah-rumah penduduk sepi, semua orang tidak nampak batang hidungnya. Tak
seorang pun keluar rumah, mungkin hujan menjadi sebuah alasan untuk tetap
bertahan di rumah.
Bu
dhe Harjo nampak sedang membetulkan posisi wajan di tungkunya yang mengepul.
Hari ini nampak spesial, karena Pak dhe Harjo menyuruh istrinya itu untuk
membuat makanan enak, ya meskipun hanya bakwan goreng. Tapi kelezatan bakwan
goreng buatan Bu dhe Harjo tidak ada tandingannya menurut Pak dhe Harjo.
Sementara
Bu dhe Harjo menggoreng bakwan di beranda depan rumahnya Pak dhe Harjo sedang
menikmati secangkir kopinya sambil membaca koran yang dia beli setelah pulang
dari balai desa tadi pagi. Sembari menunggu bakwan goreng matang, terbesitlah
ide di benak Pak dhe Harjo setelah membaca koran hari ini.
***
BAKUL BAKWAN MURAH (BBM) PAK DHE HARJO
Plakat
BBM Pak Dhe Harjo sudah terpampang di depan rumah Pak dhe Harjo. Rumah Pak dhe
Harjo yang berada di perempatan tugu Serangrejo, Kulwaru merupakan tempat yang
strategis untuk berjualan karena terletak di pinggir jalan. Selain itu ada
sebuah Madrasah Ibtidaiyah milik organisasi Muhammadiyah yang jauhya 100 meter
dari rumah Pak dhe Harjo. Murid-murid MI bisa membeli bakwan yang dijamin enak
di tempat Pak dhe Harjo.
kui pakde harjo nama samaran or cen jeneng pakdemu nur?
ReplyDeletehaha... nama ne yo fiktif belaka yo...terinspirasi angkringan pak dhe harjo
ReplyDelete