MEGAPHONE DAN SANG PEMBAHARU
“Turunkan harga BBM ! Turunkan harga SEMBAKO ! Rakyat menderita, mahasiswa terlunta-lunta,
kebijakan macam apa ini? Kami butuh BBM, kami butuh SEMBAKO. Rumah kami jauh di
perantauan, bagaimana kami ke bisa bayar uang pendidikan kampus jika uang kami
hanya habis untuk membeli BBM, uang kami tak cukup untuk membeli makan. Hargai
kami sang generasi bangsa. Dimana perasaan kalian?”
“Kami sang rakyat jelata, yang baru ingin merangkak merasakan
bahagia. Kenapa semua harga seolah ikut dusta?
Bagaimana bisa kalian biarkan rakyat menderita dengan melambungnya harga
yang menyiksa. Kami di sini para mahasiswa sang penerus bangsa, pahami kami,
kami bersuara untuk mereka. Belum cukupkah kami menderita? Dengan korupsi yang
merajalela, sedangkan harga-harga bagi kalian lambungkan setinggi-tingginya?”
Suara riuh sang mahasiswa di depan gedung DPR berekspresi menyuarakan suara hati melalui megaphone yang
mereka bawa dari kampus masing-masing. Mereka katakan pada pemerintah isi hati
mereka, uneg-uneg dan segala protes yang tertahan meluap sudah. Isi hati yang
mewakili isi hati rakyat jelata
mengkritisi si empunya negara.
Aksi demo selalu saja mewarnai kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertentangan
dengan hati nurani rakyat. Kebijakan yang seolah tidak memikirkan ulang
bagaimana akibat yang ditimbulkan dari kebijakan itu kepada yang dikenai
kebijakan.
Saat si rakyat jelata belum bisa makan alakadarnya, ada-ada saja
ulah pemerintah mengambil kebijakan. Harga BBM naik, SEMBAKO pun ikut naik. Begitu
pun ketika gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengalami kenaikan, ikut pula sang
harga naik. Baik beras, lauk dan bahan makanan pokok alias SEMBAKO merangkak
naik. Kebijakan-kebijakan yang seolah hanya menguntungkan satu pihak saja. Apakah
dipikir semua rakyat Indonesia ini adalah PNS? Sungguh ironis, bagaimana dengan
nasib mereka yang hanya berprofesi sebagai tukang batu, tukang bangunan dan
pekerjaan non PNS yang lain?
Berbicara mengenai kebijakan pemerintah pasti akan ditemukan adanya
ketidaksesuaian, pro dan kontra antara kebijakan tersebut dengan hati nurani
rakyat. Bagaimana tidak? Kebijakan yang seharusnya pro rakyat justru mengundang
kontroversi. Seolah semboyan negara demokrasi hanya sekedar wacana saja. “Dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, beralih posisi menjadi, “Dari pemerintah,
oleh pemerintah dan untuk pemerintah”. Lalu bagaimana implementasi negara
demokrasi itu?
Berangkat dari ketidakharmonisan dalam mengambil kebijakan oleh
pemerintah maka timbullah aksi pembrontakan pemikiran. Pembrontakan untuk
menolak dan mengkritisi kebijakan yang sewenang-wenang agar direvisi ulang dan
dihapuskan jika perlu, karena kebijakan yang merugikan rakyat tentu saja rakyat
pun tidak akan sudi untuk tinggal diam. Tindakan pengambilan keputusan dalam
mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan hati nurani rakyat itu serta merta
menyulut semangat jiwa-jiwa muda
terutama mahasiswa sebagai cendekiawan muda untuk berorasi dan mengkritisi
kebijakan itu. Pembrontakan pemikiran sebagai wujud negara yang bebas berdemo,
mengeluarkan pendapat di muka umam dijadikan sebagai aksi unjuk gigi, aksi
protes dan mengkritisi. Menyuarakan hati nurani menuntut keadilan abadi.
Berbondong-bondong para mahasiswa dari berbagai universtas
menyuarakan suara hati nurani mereka dan mewakili suara sang rakyat jelata.
Tiada gentar, tiada gemetar. Jiwa-jiwa yang tergugah untuk merubah nasib bangsa
menjadi lebih baik. Suara berkoar, semangat berkobar. Jihad fisabilillah untuk
membela rakyat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Mereka sang penerus bangsa,
mereka tahu akan ketidakadilan dan mereka kritis untuk menciptakan perubahan ke
arah yang lebih baik.
Beralih dari tugas sebagai pelajar yang sibuk untuk menuntut ilmu
di bangku universitas, sudah menjadi tugasnya untuk tanggap informasi terutama
masalah politik dan keadaan pemerintah negeri ini. Sang mahasiswa merupakan
pemuda yang digadang-gadang sebagai sang agen perubahan menuju masa depan
nyata. Bisa dilihat dari sejarah Indonesia, bahwa para pemudalah yang berjibaku
dan bersemangat dalam merumuskan dan mencetuskan sumpah pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928 dalam rangka menjunjung tinggi tanah air Indonesia sebagai wujud
cinta tanah air. Dalam isi sumpah pemuda yang menyatakan, “Kami putra dan
putri Indonesia mengakui bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.”,
“Kami puta dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.”,
“Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Di tinjau dari sejarah Indonesia peran sang pemuda sangatlah
penting dan besar bagi kemajuan dari
bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka. Bangsa Indonesia yang
terjajah selama 3 1/2 abad
lamanya oleh penjajah Belanda. Dengan adanya kaum intelektual muda perlawanan
yang dulunya menggunakan senjata, kini berubah menjadi perang pola pikir atau
diplomasi. Kaum terpelajar berusaha angkat pikiran memutar otak untuk melawan
penjajahan. Mulai dari konfrontasi hingga diplomasi. Hanya satu tekad dan
tujuan yakni MERDEKA. Puncak perlawanan merebut kemerdekaan mecapai titik
puncaknya setelah Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi pada tanggal 17
Agustus 1945, maka perjuangan rakyat Indonesia telah memasuki babak baru.
Sikap patriotisme dan pantang menyerah dalam membela tanah air
harus selalu dipupuk dan dilestarikan. Karena bagaimana pun mahasiswa juga
merupakan para pemuda penerus generasi bangsa. Mahasiswa yang akan menjadi
tampuk pimpinan umat dan pimpinan negara nanti, sudah seharusnya selalu
mengikuti perkembangan informasi pemerintahan dan berusaha mengkritisi serta
mencarikan solusi pemecahan akan karut marutnya pemerintahan di negeri ini.
Melalui megaphone, kalian suarakan hati dan ambisi kalian
pada masa demokrasi ini. Dan itulah wujud partsipasi aktif mahasiswa
menyumbangkan pemikiran mereka melalui kritisisasi lisan kepada pemerintah. Bukan
aksi yang anarkis, akan tetapi aksi yang kritis dan terdidik. Sebagai
cendekiawan muda mahasiswa harus aktif dalam menggunakan segala peralatan
teknologi yang telah ada untuk menyumbangkan pemikiran-pemikiran untuk kemajuan
bangsa dan negara.
Persoalan bangsa yang semakin rumit dan menggelitik untuk dikritisi
dan dicarikan solusi. Sebagai kaum tua
sudah seharusnya mereka mengakui para calon cendekiawan muda penerus generasi
bangsa. Mahasiswa adalah mahanya siswa. Siswa yang bersifat Maha.
Pemikiran-pemikiran sang mahasiswalah yang ditunggu untuk merubah dan
merenovasi pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai lagi dengan
kehendak hati rakyat. Saling mengingatkan terhadap yang baik dan mencegah dari
hal yang buruk. Secara bersama-sama meningkatkan partisipasi aktif dalam
memikirkan negeri yang penuh dengan masalah ini. Mulai dari masalah korupsi, kebijakan
tak terprediksi bahkan pemimpin-pemimpin yang di luar dugaan memiliki kebiasaan
buruk seperti suka bermain wanita.
Mahasiswa, sudah saatnya kau sadar akan keadaan bangsamu. Sudah
saatnya kau bangkit ingatkan pemimpinmu. Keraskan suara megaphone-mu,
teriakan kepada pemerintah suara hatimu, gunakan megaphone modern-mu,
layaknya megaphone suarakan hati nuranimu dalam tulisanmu, dalam aksi nyatamu
dalam setiap langkahmu untuk terus maju. Maju, dan menyeru kepada yang baik dan
mencegah kepada yang munkar. Bersiaplah selalu ber-amar makruf nahi
munkar untuk negeri dan bangsamu
hingga suatu hari akan kita songsong negeri yang maju dan adil. Aamiin.
Comments
Post a Comment