Sunday, 24 May 2015

PERLU SOSIALISASI BUKAN OBRAL JANJI

Indonesia adalah salah satu negara penganut demokrasi, yakni demokrasi tidak langsung. Dimana rakyat sebagai pemimpin tertinggi dalam suatu pemerintahan mewakilkan kepemimpinannya kepada pemerintah. Semboyan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tentu saja dijunjung tinggi di negara demokrasi. Kemudian yang menjadi pertanyaan, sudahkah semboyan negara demokrasi itu terealisasi dengan sebenar-benarnya di Indonesia? Dan sudahkah rakyat mengenal lebih dekat tokoh yang menjadi wakilnya di lembaga pemerintahan?
            Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ketika berpedoman pada semboyan negara demokrasi itu maka akan kita dapati yang menjadi sentral dari sebuah pemerintahan itu adalah rakyat. Sebagaimana pula yang temaktub dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”. Dari pasal tersebut sudah seharusnya kita menggunakan hak pilih dengan hati-hati sesuai hati nurani dan tidak terbuai oleh iming-iming uang politik.
            Dari hasil survei Harian Jogja, sedikit banyak dapat kita jadikan tolak ukur bagaimana seorang wakil rakyat, tepatnya calon legislator tidak begitu populer di kaca mata sang terwakil begitu pula si terwakil atau rakyat justru memilih karena dijanjikan uang politik supaya memilih caleg yang bersangkutan. Dari 200 responden, 73% mengatakan bahwa tidak begitu mengenal para calon legislator sedangkan sebanyak 37,5% memilih para caleg lantaran dijanjikan akan diberi uang politik (money politic). Dari hasil survei tersebut sontak saja mencengangkan bagi kita semua di kala kita sebagai rakyat benar-benar tidak tahu menahu mengenai siapa yang kita pilih menjadi wakil di kursi pemerintahan. Padahal latar belakang, dan sikap seorang tokoh wakil rakyat harus benar-benar mengenal dengan lebih dekat kepada si terwakil bahkan sebaliknya. Bagaimana bisa memilih dengan “luberjurdil” jika memilih wakil dengan asal tidak golput atau pun asal kantong isi.
            Yang menjadi masalah adalah apakah rela kita memberikan hak suara kepada wakil-wakil yang tidak pernah kita kenal dengan baik sebelumnya? Memilih dengan blind choice. Ataukah memilih karena hanya untuk uang sementara sedangkan dampaknya luar biasa panjangnya. Satu suara menentukan kedudukan seorang wakil rakyat. Sungguh amat disayangkan jika hanya menjual hak suara demi uang politik atau asal pilih saja. Amanat bagi seluruh rakyat akan menjadi penyesalan semata ketika ternyata caleg yang kita pilih dulu di kemudian hari ternyata didapati melakukan korupsi. Bukan saja merampas hak rakyat secara perlahan akan tetapi merugikan anak cucu kita kelak jika korupsi menjamur di kursi pemerintahan negara ini.
            Sebagai caleg atau calon legislator sudah seharusnya mengenal lebih dekat kepada rakyatnya, rakyat yang ia wakili. Bagaimana bisa rakyat memilih dengan hati yang bersih jika para caleg sudah mengiming-imingkan uang sebagai balas jasa jika memilihnya sebagai wakilnya di kursi pemerintahan? Padahal dari segi ekonomi rakyat memang masih mengalami kesulitan ekonomi. Seolah demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat bisa dibeli dengan uang begitu saja.

Perlunya Sosialisasi
            Sebagai calon legislator dan juga sebagi wakil rakyat yang diberi amanah untuk memangku jabatan di kursi pemerintahan sudah seharusnya lebih dekat dengan rakyatnya. Mensosialisasikan diri supaya lebih dikenal dengan yang ia wakili. Dekat dengan rakyat, mengenal dengan baik si terwakil adalah hal yang wajib untuk dilakukan oleh seorang legislator untuk dapat memperoleh simpati dari rakyat. Wakil rakyat yang amanah akan lebih menjadi daya tarik tersendiri bagi rakyatnya.Bukan uang yang kami minta. Sifat amanah dari caleglah yang lebih dibutuhkan sebagai wakil rakyat. Uang bisa habis sehari akan tetapi sifat amanah tidak akan pernah habis dalam sehari.
            Sosialisasi bukanlah ajang untuk mengobral janji. Sudah seharusnya perkataan yang keluar dari seorang calon pemimpin bisa terwujudkan dalam tindakan nyata dalam mengemban amanah dari rakyat. Pepatah jawa mengatakan bahwa, “ajining diri gumantung ana ing lathi”, yang berarti baik buruknya seseorang tergantung pada ucapan yang keluar dari mulutnya. Sehingga wajar bila setiap kata-kata manis yang keluar dari para caleg menjadi tolak ukur memilh wakilnya di kursi pemerintahan. Oleh sebab itu perkataan yang baik sudah seharusnya diwujudkan dengan tindakan nyata untuk kesejahteraan rakyat sebagai pemangku pimpinan tertinggi dalam suatu negara demokrasi.
           



No comments:

Post a Comment