Indonesia adalah salah satu negara penganut
demokrasi, yakni demokrasi tidak langsung. Dimana rakyat sebagai pemimpin
tertinggi dalam suatu pemerintahan mewakilkan kepemimpinannya kepada
pemerintah. Semboyan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tentu saja
dijunjung tinggi di negara demokrasi. Kemudian yang menjadi pertanyaan,
sudahkah semboyan negara demokrasi itu terealisasi dengan sebenar-benarnya di
Indonesia? Dan sudahkah rakyat mengenal lebih dekat tokoh yang menjadi wakilnya
di lembaga pemerintahan?
Dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ketika berpedoman pada semboyan negara
demokrasi itu maka akan kita dapati yang menjadi sentral dari sebuah
pemerintahan itu adalah rakyat. Sebagaimana pula yang temaktub dalam UUD 1945
pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”. Dari pasal tersebut sudah seharusnya
kita menggunakan hak pilih dengan hati-hati sesuai hati nurani dan tidak terbuai
oleh iming-iming uang politik.
Dari
hasil survei Harian Jogja, sedikit banyak dapat kita jadikan tolak ukur
bagaimana seorang wakil rakyat, tepatnya calon legislator tidak begitu populer di
kaca mata sang terwakil begitu pula si terwakil atau rakyat justru memilih
karena dijanjikan uang politik supaya memilih caleg yang bersangkutan. Dari 200
responden, 73% mengatakan bahwa tidak begitu mengenal para calon legislator
sedangkan sebanyak 37,5% memilih para caleg lantaran dijanjikan akan diberi
uang politik (money politic). Dari hasil survei tersebut sontak saja
mencengangkan bagi kita semua di kala kita sebagai rakyat benar-benar tidak
tahu menahu mengenai siapa yang kita pilih menjadi wakil di kursi pemerintahan.
Padahal latar belakang, dan sikap seorang tokoh wakil rakyat harus benar-benar
mengenal dengan lebih dekat kepada si terwakil bahkan sebaliknya. Bagaimana
bisa memilih dengan “luberjurdil” jika memilih wakil dengan asal tidak golput
atau pun asal kantong isi.
Yang
menjadi masalah adalah apakah rela kita memberikan hak suara kepada wakil-wakil
yang tidak pernah kita kenal dengan baik sebelumnya? Memilih dengan blind
choice. Ataukah memilih karena hanya untuk uang sementara sedangkan
dampaknya luar biasa panjangnya. Satu suara menentukan kedudukan seorang wakil
rakyat. Sungguh amat disayangkan jika hanya menjual hak suara demi uang politik
atau asal pilih saja. Amanat bagi seluruh rakyat akan menjadi penyesalan semata
ketika ternyata caleg yang kita pilih dulu di kemudian hari ternyata didapati
melakukan korupsi. Bukan saja merampas hak rakyat secara perlahan akan tetapi
merugikan anak cucu kita kelak jika korupsi menjamur di kursi pemerintahan
negara ini.
Sebagai
caleg atau calon legislator sudah seharusnya mengenal lebih dekat kepada
rakyatnya, rakyat yang ia wakili. Bagaimana bisa rakyat memilih dengan hati
yang bersih jika para caleg sudah mengiming-imingkan uang sebagai balas jasa
jika memilihnya sebagai wakilnya di kursi pemerintahan? Padahal dari segi
ekonomi rakyat memang masih mengalami kesulitan ekonomi. Seolah demokrasi dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat bisa dibeli dengan uang begitu saja.
Perlunya Sosialisasi
Sebagai
calon legislator dan juga sebagi wakil rakyat yang diberi amanah untuk memangku
jabatan di kursi pemerintahan sudah seharusnya lebih dekat dengan rakyatnya. Mensosialisasikan
diri supaya lebih dikenal dengan yang ia wakili. Dekat dengan rakyat, mengenal
dengan baik si terwakil adalah hal yang wajib untuk dilakukan oleh seorang
legislator untuk dapat memperoleh simpati dari rakyat. Wakil rakyat yang amanah
akan lebih menjadi daya tarik tersendiri bagi rakyatnya.Bukan uang yang kami
minta. Sifat amanah dari caleglah yang lebih dibutuhkan sebagai wakil rakyat. Uang
bisa habis sehari akan tetapi sifat amanah tidak akan pernah habis dalam
sehari.
Sosialisasi
bukanlah ajang untuk mengobral janji. Sudah seharusnya perkataan yang keluar
dari seorang calon pemimpin bisa terwujudkan dalam tindakan nyata dalam
mengemban amanah dari rakyat. Pepatah jawa mengatakan bahwa, “ajining diri
gumantung ana ing lathi”, yang berarti baik buruknya seseorang tergantung
pada ucapan yang keluar dari mulutnya. Sehingga wajar bila setiap kata-kata
manis yang keluar dari para caleg menjadi tolak ukur memilh wakilnya di kursi
pemerintahan. Oleh sebab itu perkataan yang baik sudah seharusnya diwujudkan
dengan tindakan nyata untuk kesejahteraan rakyat sebagai pemangku pimpinan
tertinggi dalam suatu negara demokrasi.
No comments:
Post a Comment